Banyak Kasus Viral : Evaluasi Tarif Pajak Impor & Bea Masuk Diperlukan

Banyak Kasus Viral : Evaluasi Tarif Pajak Impor & Bea Masuk Diperlukan

investigasi.id - Rentetan kasus yang melibatkan Direktorat Jenderal Bea Cukai telah menjadi sorotan utama dalam beberapa pekan terakhir. Fajry Akbar, seorang Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), memberikan komentar tajam mengenai situasi ini. Menurutnya, instansi di bawah komando Menteri Keuangan Sri Mulyani tampaknya berada dalam tekanan yang kuat, hingga ia menyamakan posisi mereka dengan pesakitan.

Fajry menyoroti bahwa dalam dua pekan terakhir, Bea Cukai telah menjadi sasaran kritik karena dianggap menghambat kelancaran aktivitas masyarakat dalam melakukan impor dan ekspor. Prosedur yang rumit, terutama terkait ekspor-impor dan regulasi mengenai barang bawaan, barang kiriman, serta barang hibah, menjadi sasaran kritik yang tajam.

Permasalahan viral seputar Bea Cukai bermula dari penerapan denda yang dianggap tidak proporsional terhadap nilai barang, seperti kasus sepatu impor, keterlambatan dan kerusakan barang kiriman, serta tertahannya alat bantu belajar tunanetra di Bea Cukai selama dua tahun. Semua hal ini telah memicu timbulnya sentimen negatif yang signifikan terhadap Bea Cukai, yang notabene masih dalam proses pemulihan citra setelah beberapa kasus korupsi dan pencucian uang yang melibatkan pejabatnya sebelumnya.

Fajry mengamati bahwa kritik publik terhadap Bea Cukai sebagian besar layak diterima. Baginya, kritik merupakan bagian dari proses pembangunan birokrasi yang lebih baik. Namun demikian, ia menegaskan bahwa kritik tersebut juga harus seimbang dan proporsional. Bea Cukai memiliki peran vital dalam ekonomi terutama terkait arus barang antar yurisdiksi, sehingga pembekuan atau pembubaran instansi tersebut bukanlah solusi yang tepat.

Lebih jauh, Fajry menjelaskan bahwa Bea Cukai memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai fasilitator perdagangan untuk menekan biaya perdagangan internasional, sebagai pendukung industri dalam negeri agar dapat bersaing di pasar global, dan sebagai pelindung masyarakat dari barang-barang terlarang seperti narkoba.

Namun, ia juga menyoroti bahwa penerimaan dari kepabeanan bukan lagi menjadi sumber utama bagi Direktorat Jenderal Bea Cukai, terutama dalam APBN 2024, di mana kontribusi penerimaan kepabeanan hanya sebesar 3,24 persen. Masalah utama yang muncul belakangan ini adalah kepercayaan publik terhadap Bea Cukai, yang menurutnya membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk dibangun kembali.

Fajry menegaskan bahwa membangun kepercayaan publik tidak dapat hanya mengandalkan komunikasi publik semata, melainkan memerlukan perubahan nyata dalam pelayanan, pengawasan internal, dan perbaikan birokrasi dan administrasi untuk mencegah terjadinya penyelewengan.

Dalam konteks ini, Fajry menyatakan bahwa sosialisasi terhadap aturan-aturan yang berlaku sangat penting, terutama bagi petugas lapangan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Selain itu, ia menekankan perlunya kemudahan regulasi terutama terkait persyaratan impor, serta evaluasi terhadap besaran bea masuk dan sanksi yang dikenakan.

Menurutnya, perubahan paradigma perlu dilakukan, di mana sanksi yang besar tidak selalu menghasilkan kepatuhan yang lebih baik. Dia juga mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk mengevaluasi tarif terkait pajak impor, terutama PPh 22 Impor yang telah mengalami kenaikan drastis dalam satu dekade terakhir, serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang juga mengalami peningkatan.

Fajry menegaskan bahwa koordinasi antar kementerian dan lembaga juga sangat penting dalam konteks ini, karena aturan-aturan terkait barang kiriman tidak hanya berada dalam lingkup Bea Cukai, tetapi juga Kementerian Perdagangan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dengan demikian, evaluasi menyeluruh terhadap tarif pajak impor dan bea masuk, serta koordinasi yang lebih baik antar lembaga terkait, menjadi kunci untuk mengatasi masalah yang muncul belakangan ini dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap otoritas kepabeanan.