
investigasi.id-Pengamat Otomotif dari LPEM Universitas Indonesia, Riyanto, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kenaikan harga mobil baru di Indonesia yang jauh melampaui pertumbuhan pendapatan masyarakat. Dalam diskusi di Gedung Kementerian Perindustrian, ia menyoroti bahwa harga mobil seperti Toyota Avanza, yang kini mencapai Rp 255 juta dari Rp 170 juta pada tahun 2013, menunjukkan adanya ketimpangan yang semakin melebar.
Menurut Riyanto, pertumbuhan pendapatan per kapita yang melambat sejak tahun 2012 telah mengakibatkan kesenjangan ini semakin dalam. Meskipun ada peningkatan kecil dalam pendapatan per kapita dari USD 4.000 menjadi USD 4.800, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand dalam hal daya beli masyarakat terhadap mobil baru.
Riyanto menjelaskan bahwa antara tahun 2000 hingga 2013, pertumbuhan pendapatan per kapita tumbuh signifikan sebesar 28,26 persen. Namun, periode 2013 hingga 2022 hanya tumbuh sebesar 3,56 persen, yang membuat daya beli masyarakat terhadap mobil baru menurun. Penjualan mobil baru rata-rata mengalami penurunan 1,6 persen setiap tahunnya.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, Kukuh Kumara, menambahkan bahwa faktor lain yang menyebabkan harga mobil terus meningkat adalah beban pajak daerah, seperti Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang dapat mencapai 30-40 persen dari harga mobil. Hal ini membuat mobil di Indonesia menjadi salah satu yang paling mahal di kawasan ini.
Kukuh juga mengakui bahwa meskipun minat masyarakat terhadap mobil baru masih tinggi, pilihan mereka terbatas terutama pada segmen Low Cost Green Car (LCGC) yang harga produknya di bawah Rp 200 juta. Namun, Kukuh menyayangkan bahwa pemerintah belum memberikan insentif yang cukup untuk menggerakkan pasar mobil ini.
Dalam menghadapi situasi ini, para ahli dan industri berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan yang mendukung industri otomotif, termasuk insentif pajak atau stimulus ekonomi baru. Potensi pasar mobil di Indonesia masih besar, terutama di luar pulau Jawa, dan pemerintah perlu mengembangkan strategi untuk menjaga daya beli masyarakat agar tetap seimbang dengan harga mobil yang terus melambung.
“Kita harus mempertimbangkan kembali bagaimana cara kita memulihkan pasar di luar pulau Jawa dan mendorong pertumbuhan pasar yang berkelanjutan,” tambah Kukuh, sambil berharap bahwa kebijakan yang tepat dapat membawa angin segar bagi industri otomotif nasional.